Sabtu, Desember 29, 2007

Paradigma Baru Dalam Proses Belajar (Bagian 2, Peran Guru)

Minggu lalu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang Guru. Kami sama-sama datang ke Muntilan, Yogyakarta, untuk menerima raport anak kami yang sekolah SMU di sana.
Guru tersebut sempat menyeletuk dan membuat saya terperangah, katanya: "Mana ada di jaman sekarang ini anak bercita-cita menjadi guru?".
"Menjadi guru bukanlah pilihan, melainkan karena kepepet atau terpaksa karena tidak ada pilihan lain.", katanya pula sambil menikmati kacang yang disuguhkan bersama air mineral.

Mudah untuk dibayangkan bagaimana jadinya proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah jika sebagian besar (kalau tidak boleh dikatakan seluruhnya) gurunya terpaksa jadi guru karena tidak ada pilihan profesi lain.
Memang ada sebagian guru pada akhirnya tumbuh kecintaannya akan dunia pendidikan, dedikasinya meningkat, dan disukai oleh anak didiknya.
Tetapi tidak sedikit guru yang tidak perduli lagi akan hasil dari pendidikan itu sendiri, jangankan memikirkan anak-anak orang lain, anak sendiri saja belum tentu mampu untuk disekolahkan karena rendahnya gaji seorang guru.
Tidak heran jika guru menyambi pekerjaan lain untuk menambah penghasilannya.

Sebenarnya peran apa yang kita harapkan dari seorang guru?
Kita berharap agar guru menguasai disiplin ilmu yang diajarkannya.
Bagaimana mungkin guru bisa mengajar dengan baik kalau ia sendiri tidak menguasai ilmu yang diajarkannya?
Sebaliknya, seberapa mampu seorang guru menguasai ilmu tersebut dan menjadi jagoan jika ia sendiri bukan jagoan ketika masih menjadi siswa dan profesi guru memang bukan pilihannya?
Cukup sering kita mendengar bahwa guru yang pintar belum tentu pandai mengajar, dan guru yang pandai mengajar belum tentu pintar.

Jika siswa telah memiliki kemampuan self-study yang tinggi, dibarengi dengan minat belajar yang juga tinggi, maka guru hanyalah pendamping bagi siswa tersebut: "Tut Wuri Handayani".
Di sekolah anak saya di Muntilan, guru tidak disebut sebagai "pengajar" melainkan sebagai "pendamping".

Begitu pula ketika saya menyusun sekripsi, topik yang saya pilih adalah "Natural Language Processing" (NLP) yang merupakan bagian dari disiplin ilmu "Artificial Intelligence" (AI). Saya kesulitan untuk mendapatkan dosen pembimbing ketika itu (1986) karena tidak ada yang jagoan dalam bidang ini. Literatur-pun sangat sulit didapat.
Tetapi karena yang saya butuhkan bukan dosen yang jagoan, melainkan yang pandai sebagai pendamping, toh akhirnya sekripsi tersebut dapat saya selesaikan dengan baik, toh akhirnya banyak dosen dan mahasiswa yang meminta salinan sekripsi saya tersebut, toh akhirnya sekripsi saya itu dipamer-pamerkan oleh kampus ketika ikut pameran.

Sekarang ini, Diknas membuat program untuk men-sertifikasi guru, diantaranya dengan program pendidikan satu tahun dan guru yang mengikutinya dibebaskan dari kewajiban mengajar. Ujung-ujungnya sama, ingin mencetak guru yang jagoan di bidang ilmu masing-masing.
Begitu pula dengan program SSI (Sekolah Standar Internasional), untuk dapat mengajar di sekolah SSI, guru harus bisa mengajar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Program Diknas lainnya, mewajibkan guru berpendidikan minimal S1.
Begitu pula dengan program-program lainnya yang diperuntukkan bagi para guru.
Apakah program-program ini akan mendongkrak kualitas pendidikan kita?
Seberapa besar dampaknya bagi peningkatan kualitas pendidikan, dibandingkan dengan dana yang mesti dialokasikan?

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, profesi guru akan menjadi pilihan, akan menjadi cita-cita anak, dan harkat guru memperoleh tempat yang layak di strata ekonomi dan sosial masyarakat kita.
Di berbagai kesempatan saya selalu bertanya kepada anak-anak tentang apa yang menjadi cita-citanya ketika besar nanti? Anda tahu jawaban mereka, tidak ada satupun yang menyebutkan guru sebagai cita-citanya.
Sementara itu, kita yang dewasa saja masih sering mengolok-olok mereka dengan sebutan "Pahlawan tanpa tanda jasa". Predikat seperti ini sungguh memalukan.
Seharusnya mereka adalah "the real hero", pahlawan sungguhan!

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, kesejahteraan guru benar-benar mendapatkan perhatian yang utama, setidaknya setara dengan penghargaan yang diberikan oleh negara-negara lain, sehingga mereka tidak perlu lagi memusingkan kebutuhan primer mereka, lalu bisa fokus sebagai pendamping bagi anak didiknya.

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, generasi muda Indonesia adalah generasi yang intelek dan sekaligus beriman, yang dicetak oleh guru yang benar-benar guru, dan akan berperan di segala bidang demi kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Kerukunan Antar Umat Beragama (Bagian 2)

Belum lagi reda kekagetan saya akan kejadian di Kampung Duri, Jakarta, kembali saya dikagetkan dengan berita tentang perusakan Mesjid di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Empat hari setelahnya, yaitu tanggal 22 Desember 2007, Mesjid Al Istiqomah di Desa Cadasari, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, juga dirusak oleh sekelompok massa.
Pondok Pesantren Miftahul Huda di Kampung Jaha Desa/Kecamatan Baros, Serang, Banten, dihancurkan dan dibakar ratusan warga.
Alasan utama tindakan anarkis tersebut karena dugaan ajaran sesat atau menyesatkan.

Salah satu aliran yang dianggap sesat adalah Jemaat Ahmadiyah, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad tahun 1889 di Qadian, Punjab, India.
Saat ini, jumlah jemaat ini telah mencapai 150 juta orang yang tersebar di 185 negara. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman RI tahun 1953. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menfatwakan bahwa aliran Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam.

Kembali saya tegaskan bahwa saya tidak bermaksud membahas kasus yang terjadi di Kuningan, Majalengka, ataupun di Serang Banten, melainkan masalah kerukunan antar umat beragama.
Kedua kelompok, yaitu kelompok Ahmadiyah yang dianggap "sesat" dan kelompok yang merasa "tidak sesat" walaupun melakukan tindakan anarkis, adalah umat yang beragama, mengapa tidak bisa hidup berdampingan dengan rukun?
Meski saya menggunakan istilah sesat untuk membedakan kedua kelompok tersebut, namun saya tidak tertarik untuk membahas lebih jauh soal sesat atau tidak sesatnya suatu aliran.
Yang membuat saya tertarik ingin tahu adalah tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang, yang mestinya adalah umat yang beragama, yang mestinya juga "tidak sesat", tega merusak tempat ibadah, yang seyogyanya adalah Rumah Tuhan.
Apakah memang ada agama yang mengijinkan umatnya melakukan tindakan pengerusakan seperti ini?
Jika tidak ada, berarti kelompok yang melakukan tindakan tersebut bukan mengatas-namakan agama. Lalu, atas kepentingan siapa?

Mari kita berhayal, seandainya kelompok yang tidak sesat berkenan secara bersama-sama turut menjaga tempat ibadah dari kelompok yang dianggap sesat agar terhindar dari pengerusakan, maka semestinya kerukunan akan tercipta, sehingga umat dapat memuliakan Allah sebagaimana mestinya tanpa ada rasa was-was lagi.

Kamis, November 29, 2007

Kerukunan Antar Umat Beragama

Tersentak juga ketika saya mengetahui bahwa Gereja di Kampung Duri, Jakarta Barat, ditutup oleh Pemerintah (Camat Tambora), padahal Gereja tersebut telah digunakan sebagai tempat ibadah selama kurun waktu 30 tahun.
Saya mencoba untuk membayangkan betapa ketakutan yang mencekam akibat intimidasi dialami oleh umat dari gereja tersebut.
Seketika terbayang-bayang gambar burung garuda yang melambangkan falsafah negara, Pancasila, berikut UUD yang mengatur tentang kebebasan beribadah.
Ternyata tidak mudah untuk beribadah di negeri ini.

Kejadian-kejadian seperti ini masih saja mewarnai kehidupan keagamaan kita.
Timbul rasa iri hati saya ketika mengingat China yang sebagian besar warganya tidak beragama justru nampak rukun satu dengan yang lainnya.
Tentu saja tidak pernah terpikir untuk menanggalkan agama yang saya anut untuk menjadi tidak beragama.

Saya berasal dari keluarga Katolik sedangkan istri saya berasal dari keluarga Islam, namun demikian, toleransi yang ditunjukkan oleh masing-masing keluarga telah membuat saya mengerti bahwa perbedaan agama bukanlah kartu mati.
Apalagi ketika saya teringat asal-usul kedua agama tersebut, keduanya berasal dari Nabi Abraham, dari anak yang satu, Ismael, kemudian menjadi Islam, dan dari anak yang lain, Ishak, menjadi kristiani.
Orang Manado bilang: "Torang Basudara".

Saya tidak mengerti, mengapa kita bisa memusuhi orang yang tidak se-iman dengan kita, padahal kenal saja tidak?
Saya tidak mengerti, mengapa kita bisa hidup berdampingan dengan alam dan tumbuhan tetapi tidak bisa hidup berdampingan dengan sesama manusia?

Yang namanya berbeda agama itu, iya memang karena agamanya tidak sama, tetapi yang namanya tidak sama itu bukan berarti saling bermusuhan, bukan?
Juga bukan berarti mesti dibikin sama, bukan?
"Tat Wam Asi" adalah ajaran Hindu yang artinya "Aku adalah Kamu, dan Kamu adalah Aku." yang sangat saya sukai karena memiliki nilai toleransi yang sangat tinggi, perlakukanlah orang lain sama seperti yang engkau inginkan dilakukan orang lain kepadamu...

Jumat, November 16, 2007

Paradigma Baru Dalam Proses Belajar

Pustekkom Depdiknas baru saja selesai menyelenggarakan International Symposium di Bali tanggal 13-15 November 2007, berjudul "Open, Distance and E-Learning 2007" atau ISODEL 2007. Sekitar 50 pembicara dari berbagai negara menyampaikan makalahnya masing-masing, diantaranya: Mendiknas (Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA), Menkominfo (Prof. Dr. Muhammad Nuh), dan Kepala Pustekkom (Ir. Lilik Gani, HA, M.Sc, Ph.D).

Terus terang terusik juga nasionalisme saya ketika mendengar pendadaran para pakar dari negara lain, betapa majunya mereka dibandingkan kita, seperti yang disampaikan oleh Tsuyoshi Usagawa dari Kumamoto University via Video Conference tentang potensi e-learning itu sendiri.
Saya tahu, keterkejutan saya ini sudah basi, sehingga Anda akan mengatakan: "Kemana saja selama ini, Pak Sandy?"

Bukan itu yang ingin saya tulis, melainkan dua hal pokok yang mengusik pikiran saya, yaitu:

1. Apakah kita mampu mengejar ketertinggalan ini atau malah akan semakin tertinggal?
Kalau dilihat perkembangan selama sepuluh tahun terakhir, kita semakin lama semakin tertinggal jauh. Jika kita tidak melakukan sesuatu yang signifikan, maka proyeksi ke depan menjadi sangat jelas, yaitu: kita akan semakin tertinggal jauh.
Apakah alokasi 20% dari APBN merupakan jawaban? Jelas Tidak!
Apakah pembangunan network infrastructure yang gencar belakangan ini merupakan jawaban? hmmm, maybe yes maybe no.
Lalu apa yang merupakan jawaban yang kongkrit 'yes'?
Saya melihat ada beberapa jawaban "yes" dan salah satu di antaranya adalah peningkatan minat belajar.

2. Seberapa besar minat belajar bangsa kita?
Ketika di-launch TPI adalah Televisi Pendidikan Indonesia, sangat sarat dengan muatan "distance learning", tetapi sekarang tidak lagi demikian, TPI iya Televisi TPI, sedikit pendidikan dan banyak hiburan.
Ini indikasi bahwa program pendidikan di televisi tidak laku dijual, dikasih cuma-cuma saja orang tidak mau apalagi disuruh membeli...

Beberapa waktu yang lalu, Diknas menggelar tender pengadaan televisi untuk sekolah-sekolah, maunya sih agar bisa digunakan untuk "belajar"... hmmm, yeah masih ada bau-bau "distance learning" ya? Tiba-tiba saja spontan mulut saya menggumam: Konyol!

Metoda-metoda satu arah seperti ini kok iya masih saja dilirik orang?
Disinilah letak kekonyolan itu!

Dahulu saya pernah mengacungkan jempol terhadap program CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Saya bilang: "Ini sangat progresif, dan ini menjanjikan".
Sayang sekali program ini nampaknya jalan di tempat karena salah mengartikan pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", maunya supaya murid aktif sementara gurunya boleh pasif, apa pula ini?

Selesai doa tadi pagi, terlintas dibenak saya tentang Paradigma baru dalam proses belajar.
Bahwa koneksi internet, terlepas dari apakah Anda suka atau tidak, akan terus berkembang tanpa seorangpun mampu menghambatnya, saya setuju.
Bahwa keberadaan Internet merupakan jawaban distance learning, nanti dulu. Tidak serta-merta demikian.
Apapun metoda dan sarana yang digunakan, sepanjang minat belajar yang masih rendah, tidak akan pernah berhasil dengan baik.
Selama semua orang masih mengatakan "Wajib Belajar", bahwa belajar adalah kewajiban setiap anak, lupakan mengejar ketertinggalan kita.
Belajar itu Hak, bukan kewajiban!
Artinya: terserah saya, apa mau belajar atau tidak. Terserah saya juga, saya mau belajar apa, kapan, dan seberapa banyak. Jangan paksa-paksa, karena ini hak bukan kewajiban.

Mengapa kita lupa bahwa Tuhan telah membekali setiap anak dengan "rasa ingin tahu" yang besar ketika ia dilahirkan? Ingin tahu ini akan padam karena kewajiban, sebaliknya akan berkembang karena hak. Oleh karenanya, janganlah dipadamkan.

Seandainya minat belajar telah bisa ditumbuh-kembangkan, selanjutnya apa?
Apakah akan kita perlakukan anak didik seperti sebuah gentong air, tinggal diguyur air sampai penuh selama 18 tahun (2 tahun TK, 6 tahun SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMU, dan 4 tahun PT)?
Ataukah akan kita ajari mereka bagaimana caranya menimba air dari sumur, dengan harapan mereka akan bisa menimba sendiri air yang dibutuhkannya?
Seandainya saja kita berhasil mengajari mereka bagaimana caranya menimba air, dapat dipastikan kita tidak perlu lagi menimba lalu mengguyurkan air di atas kepala mereka.
Ini penghematan yang luar biasa! sekaligus akselerasi yang dahsyat.

Kemampuan dan keterampilan SELF-STUDY mutlak diperlukan dan seyogyanya menjadi fokus utama pendidikan di tanah air kita ini, seperti ilustrasi sumur air di atas.

Selama gelar sarjana adalah impian anak didik, para orangtua, dan pemerintah, selama itu pula kita akan jalan di tempat.
Bahwa gelar itu begitu agung sementara Self-study yang sangat rendah, ini cenderung konyol. Coba Anda bayangkan, para guru berlomba-lomba membantu anak didiknya dengan memberikan contekan saat Ujian Nasional (UN) berlangsung, atau sengaja menciptakan keadaan agar siswanya mudah untuk saling menyontek, dengan satu motivasi yaitu siswanya mesti lulus dengan nilai UN yang bagus karena itu menyangkut harkat sekolah.
Materi pembelajaraan tidak lagi penting, yang penting mendapat nilai UN yang tinggi.

Bagi saya, bagaimana meningkatkan minat belajar, dan bagaimana mengajarkan cara belajar sendiri/mandiri, adalah dua hal yang pokok yang mesti segera diwujudkan.

Jujur, saya rada risih ketika melihat KTP saya sendiri. Risih karena ada "Ir." di depan nama saya, sesuatu yang saya kejar lebih dari 20 tahun.
Tapi saya bersyukur karena itu satu-satunya parasit yang menempel di nama saya.
Seandainya ada beberapa lagi yang lain yang terlanjur menempel di depan dan di belakang nama saya...
Perkenalkan, nama saya "Sandy Kusuma" (tanpa prefix dan suffix)...

Selasa, Oktober 02, 2007

Manusia pasif, diam seribu-basa!

Ketika aku belum berbentuk, masih berupa janin di rahim ibuku, orang-orang di sekitarku sudah mulai mengajakku untuk berkomunikasi.
Memang benar, aku belum bisa ngomong, tapi aku bisa menendang-nendangkan kakiku ketika aku ingin bicara.
Seandainya ini tidak terjadi, aku hanyalah janin yang diam seribu-basa, dan itu terjadi selama 9 bulan...

Sembilan bulan berikutnya, sejak aku dilahirkan, akupun dianggap masih belum bisa berbicara, padahal aku bisa ngomong menggunakan tangisan atau dengan menggerak-gerakkan tangan atau anggota tubuhku yang lainnya.
Seandainya saja, omonganku yang menggunakan bahasa tubuh itu tidak didengar oleh ibuku atau orang-orang di sekitarku, aku hanyalah bayi yang diam seribu-basa...

Ketika aku dianggap orang sudah mulai bicara, padahal aku sudah mulai bicara sejak masih janin, justru aku lebih banyak dilarang bicara: "Anak kecil, kamu tahu apa sih? Sudah, diam saja."
Pembantuku mengatakan aku: "cerewet sekali.".
Ketika aku mencoba berbicara dengan sebaik-baiknya, tetap saja akhirnya menjadi bahan tertawaan orang, dianggap luculah, dianggap lugulah...
Seandainya saja waktu itu aku merasa malu karena ditertawakan setiap kali aku berbicara, lalu memutuskan sebaiknya tidak berbicara, maka aku hanyalah bayi yang diam seribu-basa...

Tiba saatnya aku mulai sekolah, mulai dari TK sampai lulus perguruan tinggi.
Ini berlangsung selama kurang-lebih 18 tahun.
Setiap hari, ketika di sekolah, guru ataupun dosen berceloteh ngalor-ngidul, dan aku hanyalah pendengar yang setia, tidak boleh banyak bertanya apalagi ngobrol dengan teman sebangku.
Setiap kali aku menyela pembicaraan sang guru dengan mengajukan pertanyaan, meskipun masih relevan dengan bahasan, tetap saja membuat wajah sang guru keruh. Bahkan bisa jadi sang guru mulai gundah saat melangkah menuju ruang kelasku, anak itu kalau bertanya tidak kira-kira...
Seandainya saja aku tidak seusil itu, maka aku hanyalah murid yang diam seribu-basa, hanya menjadi pendengar selama 18 tahun!

Ketika aku pulang dari sekolah, aku bersyukur masih punya saudara dan beberapa teman sehingga aku bisa bermain.
Seandainya saja aku memilih untuk duduk berjam-jam di depan televisi, maka aku hanya bisa diam seribu-basa...

Lebih celaka lagi setelah aku mulai bekerja, di lingkungan kantor aku bahkan harus berhati-hati saat berbicara karena salah berucap bisa berakibat fatal...
Seandainya saja aku bermain aman, mendengar dan mengikuti apa kata Boss sajalah, maka aku hanyalah karyawan yang diam seribu-basa...

Seandainya aku bukan aku yang sekarang ini, yang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara, yang tidak mendapat kesempatan untuk aktif, yang bahkan dilarang untuk aktif dan diwajibkan untuk menjadi anak penurut, yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya hanya untuk mendengar dan pasif, barangkali aku tidak akan pernah mampu menuliskan apa yang aku tulis sekarang ini.

Apakah Anda termasuk anggota kelompok "diam seribu-basa"?
Nah, jika tidak, just talk, say something...
Di tempat ini Anda bebas untuk berkomentar...

Wow, sungguh suatu investasi besar!

Hari Minggu kemarin, 30 September 1958, sore hari, saya bersama keluarga dan teman-teman kantor bersama-sama tracking (On-On), menyusuri pematang sawah sambil menyaksikan para petani baru selesai memanen padi.
Kemudian kami makan malam bersama, karena hari itu adalah hari ulang tahun saya yang ke-49.

Sungguh suatu perjalanan panjang, sudah selama 17,897 hari saya ada di dunia ini.
Jika saya mengkonsumsi 30 gram beras setiap harinya, itu artinya saya telah menghabiskan sekitar 5 ton beras selama ini.
Jika kebutuhan pangan, sabun, dan sebagainya, rata-rata 50 Ribu Rupiah setiap harinya, itu artinya saya (dan orangtua saya) telah mengeluarkan uang sekitar 1 miliar rupiah.
Saya belum menghitung kebutuhan pakaian, pendidikan, sosial, dan sebagainya...
Wow, sungguh suatu investasi besar!

Karena saya sering diminta sebagai pembicara atau moderator, atau memimpin rapat, barangkali lebih dari 20 juta kalimat telah saya ucapkan selama ini.
Saya termasuk beruntung karena orangtua saya tidak mau atau barangkali tidak terpikir untuk mengajari saya tentang bagaimana caranya memaki atau mengeluarkan kata-kata kotor.
Seandainya tidak demikian, entah sudah berapa banyak sumpah-serapah akan meluncur dari bibir saya...

Semakin ngelantur saya merenung, maka dapat dibayangkan semakin besar investasi orangtua saya untuk membesarkan saya.
Begitu juga orangtua Anda.
Akankah investasi yang begitu besar ini menjadi sia-sia?

Senin, September 24, 2007

Nomer Handphone

Ini benar-benar penyakit menahun.
Sekali kita telah menggunakan satu nomer untuk handphone kita, maka seumur hidup kita akan "setia" kepada operator seluler yang menerbitkan nomer tersebut, karena nomer tersebut bukan milik kita, melainkan milik operator seluler dan kita cuma meminjamnya, seolah-olah itu milik kita.

Tiba saatnya saya mesti memutuskan untuk memilih operator yang lebih hemat, maka saya harus mempertimbangkan masak-masak karena itu sama artinya saya mesti menggunakan nomer baru.

Seandainya saja pemerintah kita (Kominfo) mau membuat regulasi yang mengatur tentang penggunaan nomer handphone ini, bahwa nomer ini milik saya, terserah operator mana yang saya pilih, tidak masalah jika hendak ganti ke operator lainnya, nomer itu tetap menjadi nomer saya, sehingga tidak perlu ganti kartu nama, tidak perlu kirim ratusan sms untuk memberitahukan tentang penggantian nomer, dan yang terpenting: nomer itu adalah aset penting milik saya, bukan milik orang lain!

Tanah, Rumah, kendaraan, dll. boleh kita miliki, dengan sertifikat lagi.
Masak iya untuk memiliki nomer seluler saja tidak boleh...

Cukup sudah!

Belakangan ini saya lebih sering berpikir untuk menghentikan kebiasaan merokok tetapi nyatanya keinginan itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

Secara kebetulan minggu lalu saya membaca buku karangan AM Rukky Santoso: Brain Booster, The Roadmap to Success (PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), terperangah juga saya ketika sampai pada bagian "Sistem Pompa Pernafasan", paru-paru adalah satu-satunya pompa bagi sistem pernafasan untuk kelangsungan kehidupan, dan selama lebih dari 30 tahun saya telah menjejali sistem pompa itu dengan asap hasil pembakaran tembakau dan cengkeh, dan saya melakukannya dengan sangat sadar tetapi tidak mau menghentikannya.

Kemarin, hari Minggu, 23 September 2007, otak saya telah membuat kesepakatan dengan paru-paru saya: Ia akan berupaya sebisa mungkin untuk tidak lagi menjejali paru-paru dengan asap rokok, cukup sudah!

Sandy Muda

Sandy Muda
Seperti apa aku jadinya nanti?