Sabtu, Desember 29, 2007

Paradigma Baru Dalam Proses Belajar (Bagian 2, Peran Guru)

Minggu lalu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang Guru. Kami sama-sama datang ke Muntilan, Yogyakarta, untuk menerima raport anak kami yang sekolah SMU di sana.
Guru tersebut sempat menyeletuk dan membuat saya terperangah, katanya: "Mana ada di jaman sekarang ini anak bercita-cita menjadi guru?".
"Menjadi guru bukanlah pilihan, melainkan karena kepepet atau terpaksa karena tidak ada pilihan lain.", katanya pula sambil menikmati kacang yang disuguhkan bersama air mineral.

Mudah untuk dibayangkan bagaimana jadinya proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah jika sebagian besar (kalau tidak boleh dikatakan seluruhnya) gurunya terpaksa jadi guru karena tidak ada pilihan profesi lain.
Memang ada sebagian guru pada akhirnya tumbuh kecintaannya akan dunia pendidikan, dedikasinya meningkat, dan disukai oleh anak didiknya.
Tetapi tidak sedikit guru yang tidak perduli lagi akan hasil dari pendidikan itu sendiri, jangankan memikirkan anak-anak orang lain, anak sendiri saja belum tentu mampu untuk disekolahkan karena rendahnya gaji seorang guru.
Tidak heran jika guru menyambi pekerjaan lain untuk menambah penghasilannya.

Sebenarnya peran apa yang kita harapkan dari seorang guru?
Kita berharap agar guru menguasai disiplin ilmu yang diajarkannya.
Bagaimana mungkin guru bisa mengajar dengan baik kalau ia sendiri tidak menguasai ilmu yang diajarkannya?
Sebaliknya, seberapa mampu seorang guru menguasai ilmu tersebut dan menjadi jagoan jika ia sendiri bukan jagoan ketika masih menjadi siswa dan profesi guru memang bukan pilihannya?
Cukup sering kita mendengar bahwa guru yang pintar belum tentu pandai mengajar, dan guru yang pandai mengajar belum tentu pintar.

Jika siswa telah memiliki kemampuan self-study yang tinggi, dibarengi dengan minat belajar yang juga tinggi, maka guru hanyalah pendamping bagi siswa tersebut: "Tut Wuri Handayani".
Di sekolah anak saya di Muntilan, guru tidak disebut sebagai "pengajar" melainkan sebagai "pendamping".

Begitu pula ketika saya menyusun sekripsi, topik yang saya pilih adalah "Natural Language Processing" (NLP) yang merupakan bagian dari disiplin ilmu "Artificial Intelligence" (AI). Saya kesulitan untuk mendapatkan dosen pembimbing ketika itu (1986) karena tidak ada yang jagoan dalam bidang ini. Literatur-pun sangat sulit didapat.
Tetapi karena yang saya butuhkan bukan dosen yang jagoan, melainkan yang pandai sebagai pendamping, toh akhirnya sekripsi tersebut dapat saya selesaikan dengan baik, toh akhirnya banyak dosen dan mahasiswa yang meminta salinan sekripsi saya tersebut, toh akhirnya sekripsi saya itu dipamer-pamerkan oleh kampus ketika ikut pameran.

Sekarang ini, Diknas membuat program untuk men-sertifikasi guru, diantaranya dengan program pendidikan satu tahun dan guru yang mengikutinya dibebaskan dari kewajiban mengajar. Ujung-ujungnya sama, ingin mencetak guru yang jagoan di bidang ilmu masing-masing.
Begitu pula dengan program SSI (Sekolah Standar Internasional), untuk dapat mengajar di sekolah SSI, guru harus bisa mengajar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Program Diknas lainnya, mewajibkan guru berpendidikan minimal S1.
Begitu pula dengan program-program lainnya yang diperuntukkan bagi para guru.
Apakah program-program ini akan mendongkrak kualitas pendidikan kita?
Seberapa besar dampaknya bagi peningkatan kualitas pendidikan, dibandingkan dengan dana yang mesti dialokasikan?

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, profesi guru akan menjadi pilihan, akan menjadi cita-cita anak, dan harkat guru memperoleh tempat yang layak di strata ekonomi dan sosial masyarakat kita.
Di berbagai kesempatan saya selalu bertanya kepada anak-anak tentang apa yang menjadi cita-citanya ketika besar nanti? Anda tahu jawaban mereka, tidak ada satupun yang menyebutkan guru sebagai cita-citanya.
Sementara itu, kita yang dewasa saja masih sering mengolok-olok mereka dengan sebutan "Pahlawan tanpa tanda jasa". Predikat seperti ini sungguh memalukan.
Seharusnya mereka adalah "the real hero", pahlawan sungguhan!

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, kesejahteraan guru benar-benar mendapatkan perhatian yang utama, setidaknya setara dengan penghargaan yang diberikan oleh negara-negara lain, sehingga mereka tidak perlu lagi memusingkan kebutuhan primer mereka, lalu bisa fokus sebagai pendamping bagi anak didiknya.

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, generasi muda Indonesia adalah generasi yang intelek dan sekaligus beriman, yang dicetak oleh guru yang benar-benar guru, dan akan berperan di segala bidang demi kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Kerukunan Antar Umat Beragama (Bagian 2)

Belum lagi reda kekagetan saya akan kejadian di Kampung Duri, Jakarta, kembali saya dikagetkan dengan berita tentang perusakan Mesjid di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Empat hari setelahnya, yaitu tanggal 22 Desember 2007, Mesjid Al Istiqomah di Desa Cadasari, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, juga dirusak oleh sekelompok massa.
Pondok Pesantren Miftahul Huda di Kampung Jaha Desa/Kecamatan Baros, Serang, Banten, dihancurkan dan dibakar ratusan warga.
Alasan utama tindakan anarkis tersebut karena dugaan ajaran sesat atau menyesatkan.

Salah satu aliran yang dianggap sesat adalah Jemaat Ahmadiyah, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad tahun 1889 di Qadian, Punjab, India.
Saat ini, jumlah jemaat ini telah mencapai 150 juta orang yang tersebar di 185 negara. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman RI tahun 1953. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menfatwakan bahwa aliran Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam.

Kembali saya tegaskan bahwa saya tidak bermaksud membahas kasus yang terjadi di Kuningan, Majalengka, ataupun di Serang Banten, melainkan masalah kerukunan antar umat beragama.
Kedua kelompok, yaitu kelompok Ahmadiyah yang dianggap "sesat" dan kelompok yang merasa "tidak sesat" walaupun melakukan tindakan anarkis, adalah umat yang beragama, mengapa tidak bisa hidup berdampingan dengan rukun?
Meski saya menggunakan istilah sesat untuk membedakan kedua kelompok tersebut, namun saya tidak tertarik untuk membahas lebih jauh soal sesat atau tidak sesatnya suatu aliran.
Yang membuat saya tertarik ingin tahu adalah tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang, yang mestinya adalah umat yang beragama, yang mestinya juga "tidak sesat", tega merusak tempat ibadah, yang seyogyanya adalah Rumah Tuhan.
Apakah memang ada agama yang mengijinkan umatnya melakukan tindakan pengerusakan seperti ini?
Jika tidak ada, berarti kelompok yang melakukan tindakan tersebut bukan mengatas-namakan agama. Lalu, atas kepentingan siapa?

Mari kita berhayal, seandainya kelompok yang tidak sesat berkenan secara bersama-sama turut menjaga tempat ibadah dari kelompok yang dianggap sesat agar terhindar dari pengerusakan, maka semestinya kerukunan akan tercipta, sehingga umat dapat memuliakan Allah sebagaimana mestinya tanpa ada rasa was-was lagi.

Sandy Muda

Sandy Muda
Seperti apa aku jadinya nanti?