Jumat, November 16, 2007

Paradigma Baru Dalam Proses Belajar

Pustekkom Depdiknas baru saja selesai menyelenggarakan International Symposium di Bali tanggal 13-15 November 2007, berjudul "Open, Distance and E-Learning 2007" atau ISODEL 2007. Sekitar 50 pembicara dari berbagai negara menyampaikan makalahnya masing-masing, diantaranya: Mendiknas (Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA), Menkominfo (Prof. Dr. Muhammad Nuh), dan Kepala Pustekkom (Ir. Lilik Gani, HA, M.Sc, Ph.D).

Terus terang terusik juga nasionalisme saya ketika mendengar pendadaran para pakar dari negara lain, betapa majunya mereka dibandingkan kita, seperti yang disampaikan oleh Tsuyoshi Usagawa dari Kumamoto University via Video Conference tentang potensi e-learning itu sendiri.
Saya tahu, keterkejutan saya ini sudah basi, sehingga Anda akan mengatakan: "Kemana saja selama ini, Pak Sandy?"

Bukan itu yang ingin saya tulis, melainkan dua hal pokok yang mengusik pikiran saya, yaitu:

1. Apakah kita mampu mengejar ketertinggalan ini atau malah akan semakin tertinggal?
Kalau dilihat perkembangan selama sepuluh tahun terakhir, kita semakin lama semakin tertinggal jauh. Jika kita tidak melakukan sesuatu yang signifikan, maka proyeksi ke depan menjadi sangat jelas, yaitu: kita akan semakin tertinggal jauh.
Apakah alokasi 20% dari APBN merupakan jawaban? Jelas Tidak!
Apakah pembangunan network infrastructure yang gencar belakangan ini merupakan jawaban? hmmm, maybe yes maybe no.
Lalu apa yang merupakan jawaban yang kongkrit 'yes'?
Saya melihat ada beberapa jawaban "yes" dan salah satu di antaranya adalah peningkatan minat belajar.

2. Seberapa besar minat belajar bangsa kita?
Ketika di-launch TPI adalah Televisi Pendidikan Indonesia, sangat sarat dengan muatan "distance learning", tetapi sekarang tidak lagi demikian, TPI iya Televisi TPI, sedikit pendidikan dan banyak hiburan.
Ini indikasi bahwa program pendidikan di televisi tidak laku dijual, dikasih cuma-cuma saja orang tidak mau apalagi disuruh membeli...

Beberapa waktu yang lalu, Diknas menggelar tender pengadaan televisi untuk sekolah-sekolah, maunya sih agar bisa digunakan untuk "belajar"... hmmm, yeah masih ada bau-bau "distance learning" ya? Tiba-tiba saja spontan mulut saya menggumam: Konyol!

Metoda-metoda satu arah seperti ini kok iya masih saja dilirik orang?
Disinilah letak kekonyolan itu!

Dahulu saya pernah mengacungkan jempol terhadap program CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Saya bilang: "Ini sangat progresif, dan ini menjanjikan".
Sayang sekali program ini nampaknya jalan di tempat karena salah mengartikan pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", maunya supaya murid aktif sementara gurunya boleh pasif, apa pula ini?

Selesai doa tadi pagi, terlintas dibenak saya tentang Paradigma baru dalam proses belajar.
Bahwa koneksi internet, terlepas dari apakah Anda suka atau tidak, akan terus berkembang tanpa seorangpun mampu menghambatnya, saya setuju.
Bahwa keberadaan Internet merupakan jawaban distance learning, nanti dulu. Tidak serta-merta demikian.
Apapun metoda dan sarana yang digunakan, sepanjang minat belajar yang masih rendah, tidak akan pernah berhasil dengan baik.
Selama semua orang masih mengatakan "Wajib Belajar", bahwa belajar adalah kewajiban setiap anak, lupakan mengejar ketertinggalan kita.
Belajar itu Hak, bukan kewajiban!
Artinya: terserah saya, apa mau belajar atau tidak. Terserah saya juga, saya mau belajar apa, kapan, dan seberapa banyak. Jangan paksa-paksa, karena ini hak bukan kewajiban.

Mengapa kita lupa bahwa Tuhan telah membekali setiap anak dengan "rasa ingin tahu" yang besar ketika ia dilahirkan? Ingin tahu ini akan padam karena kewajiban, sebaliknya akan berkembang karena hak. Oleh karenanya, janganlah dipadamkan.

Seandainya minat belajar telah bisa ditumbuh-kembangkan, selanjutnya apa?
Apakah akan kita perlakukan anak didik seperti sebuah gentong air, tinggal diguyur air sampai penuh selama 18 tahun (2 tahun TK, 6 tahun SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMU, dan 4 tahun PT)?
Ataukah akan kita ajari mereka bagaimana caranya menimba air dari sumur, dengan harapan mereka akan bisa menimba sendiri air yang dibutuhkannya?
Seandainya saja kita berhasil mengajari mereka bagaimana caranya menimba air, dapat dipastikan kita tidak perlu lagi menimba lalu mengguyurkan air di atas kepala mereka.
Ini penghematan yang luar biasa! sekaligus akselerasi yang dahsyat.

Kemampuan dan keterampilan SELF-STUDY mutlak diperlukan dan seyogyanya menjadi fokus utama pendidikan di tanah air kita ini, seperti ilustrasi sumur air di atas.

Selama gelar sarjana adalah impian anak didik, para orangtua, dan pemerintah, selama itu pula kita akan jalan di tempat.
Bahwa gelar itu begitu agung sementara Self-study yang sangat rendah, ini cenderung konyol. Coba Anda bayangkan, para guru berlomba-lomba membantu anak didiknya dengan memberikan contekan saat Ujian Nasional (UN) berlangsung, atau sengaja menciptakan keadaan agar siswanya mudah untuk saling menyontek, dengan satu motivasi yaitu siswanya mesti lulus dengan nilai UN yang bagus karena itu menyangkut harkat sekolah.
Materi pembelajaraan tidak lagi penting, yang penting mendapat nilai UN yang tinggi.

Bagi saya, bagaimana meningkatkan minat belajar, dan bagaimana mengajarkan cara belajar sendiri/mandiri, adalah dua hal yang pokok yang mesti segera diwujudkan.

Jujur, saya rada risih ketika melihat KTP saya sendiri. Risih karena ada "Ir." di depan nama saya, sesuatu yang saya kejar lebih dari 20 tahun.
Tapi saya bersyukur karena itu satu-satunya parasit yang menempel di nama saya.
Seandainya ada beberapa lagi yang lain yang terlanjur menempel di depan dan di belakang nama saya...
Perkenalkan, nama saya "Sandy Kusuma" (tanpa prefix dan suffix)...

Tidak ada komentar:

Sandy Muda

Sandy Muda
Seperti apa aku jadinya nanti?