Selasa, Oktober 02, 2007

Manusia pasif, diam seribu-basa!

Ketika aku belum berbentuk, masih berupa janin di rahim ibuku, orang-orang di sekitarku sudah mulai mengajakku untuk berkomunikasi.
Memang benar, aku belum bisa ngomong, tapi aku bisa menendang-nendangkan kakiku ketika aku ingin bicara.
Seandainya ini tidak terjadi, aku hanyalah janin yang diam seribu-basa, dan itu terjadi selama 9 bulan...

Sembilan bulan berikutnya, sejak aku dilahirkan, akupun dianggap masih belum bisa berbicara, padahal aku bisa ngomong menggunakan tangisan atau dengan menggerak-gerakkan tangan atau anggota tubuhku yang lainnya.
Seandainya saja, omonganku yang menggunakan bahasa tubuh itu tidak didengar oleh ibuku atau orang-orang di sekitarku, aku hanyalah bayi yang diam seribu-basa...

Ketika aku dianggap orang sudah mulai bicara, padahal aku sudah mulai bicara sejak masih janin, justru aku lebih banyak dilarang bicara: "Anak kecil, kamu tahu apa sih? Sudah, diam saja."
Pembantuku mengatakan aku: "cerewet sekali.".
Ketika aku mencoba berbicara dengan sebaik-baiknya, tetap saja akhirnya menjadi bahan tertawaan orang, dianggap luculah, dianggap lugulah...
Seandainya saja waktu itu aku merasa malu karena ditertawakan setiap kali aku berbicara, lalu memutuskan sebaiknya tidak berbicara, maka aku hanyalah bayi yang diam seribu-basa...

Tiba saatnya aku mulai sekolah, mulai dari TK sampai lulus perguruan tinggi.
Ini berlangsung selama kurang-lebih 18 tahun.
Setiap hari, ketika di sekolah, guru ataupun dosen berceloteh ngalor-ngidul, dan aku hanyalah pendengar yang setia, tidak boleh banyak bertanya apalagi ngobrol dengan teman sebangku.
Setiap kali aku menyela pembicaraan sang guru dengan mengajukan pertanyaan, meskipun masih relevan dengan bahasan, tetap saja membuat wajah sang guru keruh. Bahkan bisa jadi sang guru mulai gundah saat melangkah menuju ruang kelasku, anak itu kalau bertanya tidak kira-kira...
Seandainya saja aku tidak seusil itu, maka aku hanyalah murid yang diam seribu-basa, hanya menjadi pendengar selama 18 tahun!

Ketika aku pulang dari sekolah, aku bersyukur masih punya saudara dan beberapa teman sehingga aku bisa bermain.
Seandainya saja aku memilih untuk duduk berjam-jam di depan televisi, maka aku hanya bisa diam seribu-basa...

Lebih celaka lagi setelah aku mulai bekerja, di lingkungan kantor aku bahkan harus berhati-hati saat berbicara karena salah berucap bisa berakibat fatal...
Seandainya saja aku bermain aman, mendengar dan mengikuti apa kata Boss sajalah, maka aku hanyalah karyawan yang diam seribu-basa...

Seandainya aku bukan aku yang sekarang ini, yang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara, yang tidak mendapat kesempatan untuk aktif, yang bahkan dilarang untuk aktif dan diwajibkan untuk menjadi anak penurut, yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya hanya untuk mendengar dan pasif, barangkali aku tidak akan pernah mampu menuliskan apa yang aku tulis sekarang ini.

Apakah Anda termasuk anggota kelompok "diam seribu-basa"?
Nah, jika tidak, just talk, say something...
Di tempat ini Anda bebas untuk berkomentar...

2 komentar:

Chandra Lesmana mengatakan...

Betul pak, memang menyedihkan sekali ... namun begitulah sikap dan sifat manusia secara umum.

Saya sangat suka dan hobby sekali membaca buku buku Kahlil Gibran, berikut saya petik dari buku " The Madman " nya Kahlil Gibran.

Pemikiran Kahlil Gibran sangat universal, tidak terkungkung oleh batasan apapun, oleh karenanya tetap relevan sepanjang masa.

Sayang blog tidak dapat kirim attachment, maunya saya attachkan beberapa karya Kahlil Gibran yang luar biasa menyentuh dari sisi kehidupan.

Namun dapat di download gratis melalui http://www.kahlil.org/downloadfiles.html

Disitu beberapa karya besar Filsuf Lebanon dapat didownload, diantaranya The Prophet, The Madman, a Tears and a Smile, The Satan dsbnya

My Friend by The Madman Kahlil Gibran

My friend, I am not what I seem. Seeming is but a garment I wear-a care-woven garment that protects me from thy questionings and thee from my negligence.

The "I" in me, my friend, dwells in the house of silence, and therein it shall remain for ever more, unperceived, unapproachable.

I would not have thee believe in what I say nor trust in what I do-for my words are naught but thy own thoughts in sound and my deeds thy own hopes in action.

When thou sayest, "The wind bloweth eastward," I say, "Aye it doth blow eastward"; for I would not have thee know that my mind doth not dwell upon the wind but upon the sea.

Thou canst not understand my seafaring thoughts, nor would I have thee understand. I would be at sea alone.

When it is day with thee, my friend, it is night with me; yet even then I speak of the noontide that dances upon the hills and of the purple shadow that steals its way across the valley; for thou canst not hear the songs of my darkness nor see my wings beating against the stars-and I fain would not have thee hear or see. I would be with night alone.

When thou ascendest to thy Heaven I descend to my Hell-even then thou callest to me across the unbridgeable gulf, "My companion, my comrade," and I call back to thee, "My comrade, my companion"-for I would not have thee see my Hell. The flame would burn thy eyesight and the smoke would crowd thy nostrils. And I love my Hell too well to have thee visit it. I would be in Hell alone.

Thou lovest Truth and Beauty and Righteousness; and I for thy sake say it is well and seemly to love these things. But in my heart I laughed at thy love. Yet I would not have thee see my laughter. I would laugh alone.

My friend, thou art good and cautious and wise; nay, thou art perfect-and I, too, speak with thee wisely and cautiously. And yet I am mad. But I mask my madness. I would be mad alone.

My friend, thou art not my friend, but how shall I make thee understand? My path is not thy path, yet together we walk, hand in hand.

Sandy Kusuma mengatakan...

Pak Chandra,
Terimakasih atas komentarnya dan tambahan resource dari Kahlil Gibran.
Semoga saya punya kesempatan untuk membaca buku-bukunya.

Sandy Muda

Sandy Muda
Seperti apa aku jadinya nanti?