Jumat, Maret 07, 2008

Kerukunan Antar Umat Beragama (Bagian 3)

Hari ini, Jumat, 7 Maret 2008, masyarakat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Nyepi, yaitu dengan melakukan "Tapa Beratha" untuk penyucian diri, dimana pada hari ini tidak ada aktivitas yang menimbulkan suara dan api.
Jalanan lengang karena tidak ada kendaraan yang lewat, begitu pula tidak ada pejalan kaki. Bandara dan pelabuhan lautpun tutup.
Pada hari ini tidak ada bulan di langit (bulan mati), sehingga sangat gelap di malam hari, terlebih lagi kita tidak diperkenankan menyalakan api, lampu, dan yang membuat terang lainnya.

Bagaimana dengan umat non-Hindu yang tinggal di Bali?
Apakah mereka juga ikut tinggal di rumah sepanjang hari, tanpa penerangan dan api, tanpa suara berisik?
Di sinilah kerukunan antar umat diuji.
Sebagian besar umat non-Hindu di Bali menunjukkan toleransinya, ikut larut di keheningan Nyepi ini.

Tahun ini agak sedikit berbeda, Hari Raya Nyepi jatuh pada hari Jumat, dimana umat Muslim mesti ke Mesjid untuk melakukan solat Jumat dan umat Kristiani mesti ke Gereja untuk melakukan Doa Jalan Salib menjelang Hari Raya Paskah.
Lalu bagaimana?
Apakah mereka boleh keluar rumah dan pergi ke rumah ibadah?
Spirit "Kerukunan antar Umat" telah menelorkan kesepakatan: tetap bisa pergi untuk solat Jumat ataupun Doa Jalan Salib, namun tidak menggunakan kendaraan.
Inilah bentuk nyata dari toleransi antar umat beragama.

Yang lebih heboh lagi terjadi pada tahun 1993 yang lalu, dimana Hari Raya Nyepi (24 Maret 1993) bertepatan dengan Malam Takbir menjelang Idhul Fitri.
Umat Hindu mesti larut dalam keheningan Tapa Beratha, sementara Umat Muslim mesti menabuh Bedug berkeliling kota menyuarakan Takbir.
Seandainya saja tidak ada toleransi di antara kedua umat itu, saya tidak tahu apa yang bakalan terjadi.
Tetapi karena tingginya toleransi antar umat di Bali, masalah ini dapat dicarikan solusinya dengan sangat bijaksana: Umat Hindu hanya sedikit terganggu dengan Takbir di sore/malam hari karena gema takbir hanya dilaksanakan di Mesjid saja dan dengan durasi yang secukupnya.
Berbicara toleransi,ada sedikit yang terpaksa direlakan, namun banyak manfaat yang diperoleh.

Seandainya saja, umat di daerah lain mau meniru apa yang telah dilakukan di Bali, "Ke-Tuhan-an yang Maha Esa" tentu akan berdiri dengan kokoh sebagai pilar utama dari "Bhineka Tunggal Ika".

Sebaliknya, jika fanatisme masih saja dihembus-hembuskan, apalagi oleh para pemuka agama itu sendiri, merasa diri paling benar, menjadi tuli terhadap suara Ilahi, lalu melupakan apa yang telah diajarkan-Nya, tidak heran jika kemudian kita begitu mudah diprovokasi melakukan tindakan-tindakan anarkis.

Hari gini, Anda masih sebagai manusia fanatik? Atau Anda sudah bersama-sama saya membangun kerukunan antar umat beragama?

Sabtu, Desember 29, 2007

Paradigma Baru Dalam Proses Belajar (Bagian 2, Peran Guru)

Minggu lalu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang Guru. Kami sama-sama datang ke Muntilan, Yogyakarta, untuk menerima raport anak kami yang sekolah SMU di sana.
Guru tersebut sempat menyeletuk dan membuat saya terperangah, katanya: "Mana ada di jaman sekarang ini anak bercita-cita menjadi guru?".
"Menjadi guru bukanlah pilihan, melainkan karena kepepet atau terpaksa karena tidak ada pilihan lain.", katanya pula sambil menikmati kacang yang disuguhkan bersama air mineral.

Mudah untuk dibayangkan bagaimana jadinya proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah jika sebagian besar (kalau tidak boleh dikatakan seluruhnya) gurunya terpaksa jadi guru karena tidak ada pilihan profesi lain.
Memang ada sebagian guru pada akhirnya tumbuh kecintaannya akan dunia pendidikan, dedikasinya meningkat, dan disukai oleh anak didiknya.
Tetapi tidak sedikit guru yang tidak perduli lagi akan hasil dari pendidikan itu sendiri, jangankan memikirkan anak-anak orang lain, anak sendiri saja belum tentu mampu untuk disekolahkan karena rendahnya gaji seorang guru.
Tidak heran jika guru menyambi pekerjaan lain untuk menambah penghasilannya.

Sebenarnya peran apa yang kita harapkan dari seorang guru?
Kita berharap agar guru menguasai disiplin ilmu yang diajarkannya.
Bagaimana mungkin guru bisa mengajar dengan baik kalau ia sendiri tidak menguasai ilmu yang diajarkannya?
Sebaliknya, seberapa mampu seorang guru menguasai ilmu tersebut dan menjadi jagoan jika ia sendiri bukan jagoan ketika masih menjadi siswa dan profesi guru memang bukan pilihannya?
Cukup sering kita mendengar bahwa guru yang pintar belum tentu pandai mengajar, dan guru yang pandai mengajar belum tentu pintar.

Jika siswa telah memiliki kemampuan self-study yang tinggi, dibarengi dengan minat belajar yang juga tinggi, maka guru hanyalah pendamping bagi siswa tersebut: "Tut Wuri Handayani".
Di sekolah anak saya di Muntilan, guru tidak disebut sebagai "pengajar" melainkan sebagai "pendamping".

Begitu pula ketika saya menyusun sekripsi, topik yang saya pilih adalah "Natural Language Processing" (NLP) yang merupakan bagian dari disiplin ilmu "Artificial Intelligence" (AI). Saya kesulitan untuk mendapatkan dosen pembimbing ketika itu (1986) karena tidak ada yang jagoan dalam bidang ini. Literatur-pun sangat sulit didapat.
Tetapi karena yang saya butuhkan bukan dosen yang jagoan, melainkan yang pandai sebagai pendamping, toh akhirnya sekripsi tersebut dapat saya selesaikan dengan baik, toh akhirnya banyak dosen dan mahasiswa yang meminta salinan sekripsi saya tersebut, toh akhirnya sekripsi saya itu dipamer-pamerkan oleh kampus ketika ikut pameran.

Sekarang ini, Diknas membuat program untuk men-sertifikasi guru, diantaranya dengan program pendidikan satu tahun dan guru yang mengikutinya dibebaskan dari kewajiban mengajar. Ujung-ujungnya sama, ingin mencetak guru yang jagoan di bidang ilmu masing-masing.
Begitu pula dengan program SSI (Sekolah Standar Internasional), untuk dapat mengajar di sekolah SSI, guru harus bisa mengajar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Program Diknas lainnya, mewajibkan guru berpendidikan minimal S1.
Begitu pula dengan program-program lainnya yang diperuntukkan bagi para guru.
Apakah program-program ini akan mendongkrak kualitas pendidikan kita?
Seberapa besar dampaknya bagi peningkatan kualitas pendidikan, dibandingkan dengan dana yang mesti dialokasikan?

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, profesi guru akan menjadi pilihan, akan menjadi cita-cita anak, dan harkat guru memperoleh tempat yang layak di strata ekonomi dan sosial masyarakat kita.
Di berbagai kesempatan saya selalu bertanya kepada anak-anak tentang apa yang menjadi cita-citanya ketika besar nanti? Anda tahu jawaban mereka, tidak ada satupun yang menyebutkan guru sebagai cita-citanya.
Sementara itu, kita yang dewasa saja masih sering mengolok-olok mereka dengan sebutan "Pahlawan tanpa tanda jasa". Predikat seperti ini sungguh memalukan.
Seharusnya mereka adalah "the real hero", pahlawan sungguhan!

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, kesejahteraan guru benar-benar mendapatkan perhatian yang utama, setidaknya setara dengan penghargaan yang diberikan oleh negara-negara lain, sehingga mereka tidak perlu lagi memusingkan kebutuhan primer mereka, lalu bisa fokus sebagai pendamping bagi anak didiknya.

Saya masih mendambakan, suatu saat nanti, generasi muda Indonesia adalah generasi yang intelek dan sekaligus beriman, yang dicetak oleh guru yang benar-benar guru, dan akan berperan di segala bidang demi kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Sandy Muda

Sandy Muda
Seperti apa aku jadinya nanti?